A. FAKTOR PENDORONG LAHIRNYA NASIONALISME INDONESIA
Kata nasionalisme berasal dari kata Nation yang berati bangsa. Dalam
bahasa Latin kata Nation berati kelahiran kembali, suku kemudian bangsa.
Bangsa adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu dan
memiliki hasrat untuk bersatu karena adanya persamaan nasib, cita-cita
dan kepentingan bersama. Menurut Han Kohn adalah suatu paham yang
menempatkan kesetiaan tertinggi individu harus diserakan kepada negara
dan bangsa. Bangkitnya nasionalisme Indonesia didorong oleh faktor intern dan ekstern.
1. Faktor Intern
Faktor-faktor intern yang menyebabkan lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut.
a. Kejayaan Bangsa Indonesia sebelum Kedatangan Bangsa Barat
Sebelum kedatangan bangsa Barat, di wilayah Nusantara sudah berdiri
kerajaan-kerajaan besar, seperti Sriwijaya, Mataram dan Majapahit.
Kejayaan masa lampau itu menjadi sumber inspirasi untuk melepaskan diri
dari belenggu penjajahan.
b. Penderitaan Rakyat akibat Politik Drainage(Pengerukan Kekayaan)
Politik drainage itu mencapai puncaknya ketika diterapkan sistem tanam paksa yang dilanjutkan dengan sistem ekonomi liberal.
c. Adanya Diskriminasi Rasial
Diskriminasi merupakan hal menonjol yang diterapkan oleh pemerintah
kolonial Belanda dalam kehidupan sosial pada awal abad ke-20. Dalam
bidang pemerintahan, tidak semua jabatan tersedia bagi kaum pribumi.
d. Munculnya Golongan Terpelajar
Pada awal ke-20, pendidikan mendapatkan perhatian yang lebih baik dari
pemerintah kolonial. Hal itu sejalan dengan diterapkannya politik etis.
Melalui penguasaan bahasa asing yang diajarkan di sekolah-sekolah
modern, mereka dapat mempelajari berbagai ide-ide dan paham-paham baru
yang berkembang di Barat, seperti ide tentang HAM, liberalisme,
nasionalisme, dan demokrasi.
2. Faktor Ekstern
Lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia juga didorong oleh faktor-faktor ekstern, antara lain berikut ini.
a. Kemenangan Jepang terhadap Rusia (1904-1905)
Kemenangan Jepang dalam Perang Rusia-Jepang telah berhasil
mengguncangkan dunia. Kemenangan Jepang tersebut berhasil menggugah
kesadaran bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk melawan penjajahan bangsa-bangsa kulit putih.
b. Kebangkitan Nasionalisme Negara-Negara Asia-Afrika
Kebangkitan nasional bangsa-bangsa Asia-Afrika memberikan dorongan kuat
bagi bangsa Indonesia untuk bangkit melawan penindasan pemerintahan
kolonial. Revolusi Tiongkok (1911) dan pementukan partai Kuomintang oleh
Sun Yan Set yang berhasil menjadikan Cina sebagai negara mereka pada
tahun (1912).
c. Masuknya Paham-Paham Baru
Paham-paham baru seperti liberalisme, demokrasi dan nasionalisme
muncul setelah terjadinya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis.
Hubungan antara Asia dan Eropa menyebabkan paham-paham itu menyebar dari
Eropa ke Asia, termasuk ke Indonesia.
B. ORGANISASI-ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA
1. Boedi Oetomo
Dengan semangat hendak meningkatkan semangat masyarakat, Mas Ngabehi
Wahidin Soediro Husodo, seorang doktor jawa dan termasuk seorang priayi,
tahun 1906-1907 melakukan kempanye di kalangan priayi di Pulau Jawa.
Pada akhir 1907, Wahidin bertemu dengan Soetomo, pelajar STOVIA di
Batavia. Pertemuan tersebut berhasil mendorong didirikannya organisasi
yang diberi nama Boedi Oetomo pada hari rabu tanggal 20 Mei 1908 di
Batavia. Soetomo kemudian ditunjuk sebagai ketuanya. Tanggal berdirinya
Boedi Oetomo hingga saat ini diperingati sebagai Hari Kebangkitan
Nasional.
2. Sarekat Islam
Pada akhir 1911, Haji Samanhudi di Solo menghimpun para
pengusaha batik di dalam sebuah organisasi yang bercorak agama dan
ekonomi, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI).
Setahun kemudian pada bulan November 1912 nama SDI diganti menjadi Sarekat Islam (SI)
dengan ketuanya Haji Oemar Said Cokroaminoto, sedangkan Samanhudi
sebagai ketua kehormatan. Perubahan nama tersebut bertujuan agar
keanggotaannya menjadi luas, bukan hanya dari kalangan pedagang.
Apabila dilihat dari anggaran dasarnya, tujuan pendirian Sarekat Islam
adalah sebagai berikut.
A. Mengembangkan jiwa dagang.
B. Memberikan bantuan kepada anggota-anggota yang kesulitan.
C. Memajukan pengajaran dan semua.
D. Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang agama Islam.
Aktivitas SI lebih mengutamakan politik tidak disetujui oleh sebagian
besar anggotanya. Mereka menginginkan SI memperhatikan masalah-masalah
keagamaan. Dalam kondisi itu SI memutuskan untuk bekerja sama dengan
pemerintahan kolonial dan berganti nama menjadi Partai Sarikat Islam.
Sehubungan dengan meluasnya semangat persatuan dan Sumpah Pemuda, nama tersebut diubah menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930 dengan ketuanya Haji Agus Salim.
3. Indische Partij
Indische Partij berdiri di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912.
Organisasi ini juga dimaksudkan sebagai pengganti Indische Bond. Sebagai
organisasi kaum Indonesia dan Eropa yang didirikan pada tahun 1898.
Ketiga tokoh pendiri Indische Partij dikenal dengan Tiga Serangkai,
yaitu Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudi), dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Indische Partij merupakan pergerakan nasional yang bersifat politik murni dengan semangat nasionalisme modern.
Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju
kemerdekaan Indonesia. Indonesia dianggap sebagai National Home bagi
semua orang, baik penduduk bumi putera maupun keturunan Belanda,
Cina, dan Arab, yang mengaku Indonesia sebagai tanah air dan
kebangsaannya. Paham ini pada waktu itu dikenal sebagai Indisch
Nasionalisme, yang selanjutnya melalui perhimpunan Indonesia dan PNI,
diubah menjadi Indonesische Nationalisme atau Nasional Indonesia. Hal
itulah yang menyatakan bahwa Indische Partij sebagai partai politik
pertama di Indonesia.
4. Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan Indonesia didirikan pada tahun 1908 oleh orang-orang
Indonesia yang berada di Belanda, antara lain Sutan Kasayangan dan R.N
Noto Suroto. Mula-mula organisasi itu bernama Indische Vereeniging.
Akan tetapi sejak berakhirnya Perang Dunia I perasaan anti kolonialisme
dan imperialisme di kalangan pemimpin-pemimpin Indische Vereeniging
semakin menonjol.
Pada tahun 1922, Indische Vereeniging berubah menjadi Indonesische
Vereeniging. Sejak tahun 1925, selain nama dalam bahasa Belanda juga
digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu Perhimpunan Indonesia. Oleh karena itu, semakin tegas bahwa PI bergerak dalam bidang politik.
Dalam kalangan pergerakan nasional di Indonesia, pengaruh PI cukup
besar. Beberapa organisasi pergerakan nasional mulai lahir karena
mendapatkan inspirasi dari PI, seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar
Indonesia (PPPI) tahun 1926, Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun
1927, dan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) tahun 1927.
5. Partai Komunis Indonesia
Ketika Sosial Democratische Arbeiderspartij (SDAP) di Belanda pada tahun
1918 mengumumkan dirinya menjadi Partai Komunis Belanda (CPN), para
anggota ISDV dari golongan Eropa mengusulkan mengikuti jejak itu. Oleh
karena itu, pada tanggal 23 Mei 1920 diubah lagi menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI). Di dalam susunan pengurus baru terbentuk tertera antara
lain Semaun sebagai ketua, Darsono sebagai wakil ketua, Bergsma sebagai
sekretaris, Dekker sebagai bendahara, serta Baars dan Sugono sebagai
anggota pengurus. PKI tumbuh menjadi partai politik dengah jumlah yang
sangat besar. Akan tetapi karena jumlah anggotanya intinya kecil, partai
itu kurang dapat mengontrol dan menanamkan disiplin kepada anggotanya.
Setelah berhasil menempatkan dirinya sebagai partai besar, PKI merasa
sudah kuat untuk melakukan pemberontakan pada tahun 1926. Hampir sepuluh
tahun kemudian, Komitern mengirimkan seorang tokoh komunis kembali ke
Indonesia. Tokoh tersebut ialah Musso yang pada bulan April 1935
mendarat di Surabaya. Dengan bantuan Joko Sujono, Pamuji, dan Achmad
Sumadi, ia membentuk yang diberi nama PKI Ilegal. Kegiatan utama kaum
komunis kemudian disalurkan melalui Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)
dengan tokoh utamanya Amir Syarifudin.
6. Partai Nasional Indonesia
Partai Nasional Indonesia (PNI) dibentuk di Bandung pada tanggal 4 Juli
1927 dengan tokoh-tokohnya Ir. Soekarno, Iskaq, Budiarto, Cipto
Mangunkusumo, Tilaar, Soedjadi, dan Soenaryo. Dalam pengurus besar PNI,
Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua, Iskaq sebagai sekretaris/bendahara,
dan Dr. Samsi sebagai komisaris. Sementara itu dalam perekrutan anggota
disebutkan bahwa mantan anggota PKI tidak diperkenankan menjadi anggota
PNI, juga pegawai negeri yang memungkinkan berperan sebagai mata-mata
pemerintah kolonial. Ada dua macam cara yang dilakukan oleh PNI untuk
memperkuat diri dan pengaruhnya di dalam masyarakat, yaitu:
a. Usaha ke dalam: Usaha-usaha terhadap lingkungan sendiri, antara
lain mengadakan kursus-kursus, mendirikan sekolah-sekolah dan bank-bank.
b. Usaha ke luar: Dengan memeperkuat opini publik terhadap tujuan
PNI, antara lain melalui rapat-rapat umum dan menerbitkan surat kabar
Benteng Priangan di Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia.
Peningkatan kegiatan rapat-rapat umum di cabang-cabang sejak bulan Mei
1929 menimbulkan suasana yang tegang. Pemerintah kolonial Belanda lebih
banyak melakukan pengawasan secara tegas terhadap kegiata-kegiatan PNI
yang dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban. Sering kali polisi
menghentikan pidato karena dianggap telah menghasut rakyat.
Akhirnya pemerintah Hindia Belanda beranggapan bahwa tiba saatnya untuk
melakukan tindakan terhadap PNI. Bahkan Gubernur Jenderal de Graef telah
mendapatkan tekanan dari konservatif Belanda yang tergabung dalam
Vanderlansche Club untuk bertindak tegas karena mereka berkeyakinan
bahwa PNI melanjutkan taktik PKI.
C. Upaya-Upaya Menggalang Persatuan
1. Pembentukan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
Di kalangan pemimpin pergerakan nasional muncul gagasan untuk membentuk
gabungan (fusi) dari partai-partai politik yang ada. Tujuannya untuk
memperkuat dan mempersatukan tindakan-tindakan dalam menghadapi
pemerintah kolonial. Usaha itu dirintis oleh Sarekat Islam,
Muhammadiyah, Jong Islamiten Bond, Pasundan, Persatuan Minahasa, Sarekat
Ambon dan Sarekat Madura. Pada bulan September 1926 berhasil dibentuk
Komite Persatuan Indonesia. Akan tetapi, usaha tersebut tidak berhasil
dengan baik sehingga tidak satu pun organisasi gabungan (fusi) yang
dihasilkan.
Pada tanggal 17-18 Desember 1927 diadakan sidang di Bandung yang
dihadiri oleh wakil-wakil dari PNI, Algemeene Studieclub, PSI (Partai
sarekat Islam), Boedi Oetomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi,
dan Indinesische studieclib. Sidang tersebut memutuskan untuk membentuk
(PPPKI) dengan tujuan sebagai berikut.
Sebagai suatu alat organisasi yang tetap dari federasi itu,
dibentuklah dewan pertimbangan yang terdiri atas seorang ketua,
sekretaris, bendahara, dan wakil partai-partai yang bergabung. Dr.
Soetomo dari Studieclub sebagai Ketua Majelis Pertimbangan dan Ir.
Anwari dari PNI sebagai sekretaris.
2. Gerakan Pemuda
1. Gerakan Pemuda Kedaerahan
Trikoro Dharmo merupakan organisasi pemuda kedaerahaan pertama di
Indonesia. Trikoro Dharmo didirikan di Gedung Stovia pada tanggal 7
Maret 1915 oleh pemuda-pemuda Jawa, seperti Satiman, Kadarman, Sumardi,
Jaksodipuro (Wongsonegoro), Sarwono, dan Mawardi. Trikoro Dharmo
berarti tiga tujuan mulia, yaitu Sakti, Budi dan Bhakti.
Kenggotaan Trikoro Dharmo pada mulanya hanya terbatas pada kalangan
pemuda dari Jawa dan Madura. Akan tetapi, diperluas dengan semboyannya
Jawa Raya yang meliputi Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok. Pada tanggal 9
Desember 1917 di Jakarta berdiri organisasi Jong Sumatranen Bond.
Tokoh-tokoh nasional yang pernah menjadi anggota Jong Sumatranen Bond,
antara lain Moh.Hatta, Moh.Yamin, M. Tasil, Bahder Djohan, dan Abu
Hanifah. Jong Minahasa berdiri pada tanggal 5 Januari 1918 di Manado
dengan tokohnya A.J.H.W.Kawilarang dan V.Adam. Jong Celebes dengan
tokoh-tokohnya Arnold Monomutu, Waworuntu, dan Magdalena Mokoginta. Jong
Ambon berdiri pula pada tanggal 1 Juni 1923 di Jakarta.
Dengan semangat kedaerahaannya itu, pada kongres Trikoro Dharmo di Solo
tanggal 12 Juni 1918 nama trikoro Dharmo diubah menjadi Jong Java.
Kegiatan Jong Java masih tetap bergerak dalam bidang sosial budaya.
Pada kongres kelima bulan Mei 1922 di Solo dan kongres luar biasa
Desember 1922 ditetapkan bahwa Jong Java tidak akan mencampuri masalah
politik. Anggota Jong Java hanya diperbolehkan terjun dalam dunia
politik setelah mereka tamat belajar.
2. Kongres Pemuda Indonesia
1. Kongres Pemuda I
Keinginan untuk bersatu seperti yang didengung-dengungkan oleh
Perhimpunan Indonesia (PI) dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia
(PPPI) telah tertanam dalam sanubari pemuda-pemuda Indonesia. Untuk itu,
pada tanggal 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta diadakan kongres pemuda
Indonesia yang pertama.
Dalam kongres itu dilakukan beberapa kali pidato tentang pentingnya
Indonesia bersatu. Disampaikan pula tentang upaya-upaya memperkuat rasa
persatuan yang harus tumbuh di atas kepentingan golongan, bangsa dan
agama. Selanjutnya juga dibicarakan tentang kemungkinan bahasa dan
kesusastraan Indonesia kelak dikemudian hari.
Para mahasiswa Jakarta dalam kongres tersebut juga membicarakan tentang
upaya mempersatukan perkumpulan-perkumpulan pemuda menjadi satu badan
gabumgan (fusi). Walaupun pembicaraan mengenai fusi tidak membuahkan
hasil yang memuaskan, kongres itu telah memperkuat cita-cita Indonesia
bersatu.
2. Kongres Pemuda II
Kongres Pemuda II diadakan dua tahun setelah Kongres Pemuda Indonesia
pertama, tepatnya pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres itu dihadiri
oleh wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan pemuda ketika itu diantara
lain Pemuda Sumatera, Pemuda Indonesia, Jong Bataksche Bond, Sekar
Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Jong Islamiten Bond, Jong Java, Jong Ambon
dan Jong Celebes. PPPI yang memimpin kongres ini sengaja mengarahkan
kongres pada terjadinya fusi organisasi-organisasi pemuda.
Susunan panitia Kongres Pemuda II yang sudah terbentuk sejak bulan Juni 1928 adalah sebagai berikut.
Ketua : Sugondo Joyopuspito dari PPPI
Wakil ketua : Joko Marsaid dari Jong Java
Sekretaris : Moh. Yamin dari Jong Sumatranen Bond
Bendahara : Amir Syarifuddin dari Jong Bataksche Bond
Pembantu I : Johan Moh. Cai dari Jong Islamiten Bond
Pembantu II : Koco Sungkono dari Pemuda Indonesia
Pembantu III : Senduk dari Jong Cilebes
Pembantu IV : J. Leimena dari Jong Ambon
Pembantu V : Rohyani dari Pemuda Kaum Betawi
Kongres Pemuda II dilaksanakan selama dua hari, 27-28 Oktober 1928.
persidangan yang dilaksanakan sebanyak tiga kali di antaranya membahas
persatuan dan kebangsaan Indonesia, pendidikan, serta pergerakan
kepanduan. Kongres tersebut berhasil mengambil keputusan yang dikenal
sebagai Sumpah Pemuda sebagai berikut.
Rumusan tersebut dibuat oleh sekretaris panitia, Moh. Yamin dan
dibacakan oleh ketua kongres, Sugondo Joyopuspito, secara hikmat di
depan kongres. Selanjutnya diperdengarkan lagu Indonesia Raya yang
diciptakan dan dibawakan oleh W.R. Supratman dengan gesekan biola.
Peristiwa bersejarah itu merupakan hasil kerja keras para pemuda
pelajar Indonesia. Dengan tiga butir Sumpah Pemuda itu, setiap
organisasi pemuda kedaerahan secara konsekuen meleburkan diri kedalam
satu wadah yang telah disepakati bersama, yaitu Indonesia Muda.
D. Berkembangnya Taktik Moderat dan Kooperatif dalam Perkembangan Nasional
Berkembangnya taktik moderat dan kooperatif dalam pergerakan nasional Indonesia disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Krisis ekonomi (malaise) yang terjadi sejak tahun 1921 dan
berulang pada akhir tahun 1929. Bahkan, pada awal tahun 1930-an krisis
ekonomi itu tidak kunjung reda.
2. Kebijakan keras pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge
menyebabkan kaum pergerakan, terutama golongan nonkooperatif, sangat
menderita. Setiap gerakan yang radikal atau revolusioner akan ditindas
dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawab atas keadaan
di Hindia Belanda.
3. Pada tahun 1930-an, kaum pergerakan nasional terutama yang berada
di Eropa menyaksikan bahwa perkembangan paham fasisme dan Naziisme
mengancam kedudukan negara-negara demokrasi. Demikian pula Jepang
sebagai negara fasis di Asia telah melakukan ekspansinya ke wilayah
Pasifik sehingga ada yang mendekatkan kaum nasionalis dengan penguasa
kolonial, yaitu mempertahankan demokrasi terhadap bahaya fasisme.
Kesadaran itu muncul pertama kali di kalangan Perhimpunan Indoesia yang
terlebih dahulu telah melakukan taktik kooperatif.
a. Partindo (1931)
Pada kongres luar biasa PNI di Batavia tanggal 25 April 1931 diambil
keputusan untuk membubarkan PNI. Pembubaran tersebut menimbulkan
pertentangan di kalangan pendukung PNI. Sartono dan pendukungnya
membentuk Partai Indonesia (Partindo) pada tanggal 30 April 1931.
Asas dan tujuan serta garis-garis perjuangan PNI masih diteruskan
oleh Partindo. Selanjutnya dilakukan upaya menghimpun kembali
anggota-anggota PNI yang tercerai-cerai sehingga pada tahun 1931
berhasih dibentuk 12 cabang. Kemudian berkembang menjadi 24 cabang
dengan anggota sebanyak 7.000 orang.
Penangkapan kembali Ir. Soekarno pada tanggal 1 Agustus 1933 melemahkan
Partindo. Bung Karno diasingkan ke Ende, Flores, pada tahun 1934. karena
alasan kesehatan, Bung Karno kemudihan dipindahkan ke Bengkulu pada
tahun 1938 dan pada tahun 1942 dipindahkan kepadang karena adanya
serbuan Jepang ke Indonesia. Tanpa Ir. Soekarno, Partindo mengalami
kemunduran. Partindo keluar dari PPPKI agar PPPKI tidak terhalang
geraknya karena adanya larangan untuk mengadakan rapat. Dalam menghadapi
keadaan yang sulit itu, untuk kedua kalinya Sartono membubarkan
Partindo juga tanpa dukungan penuh dari anggotanya.
b. PNI Baru (1931)
Pada bulan Desember 1931, membentuk Pendidikan Nasional Indonesia(PNI
Baru). Mula-mula Sutan Syahir dipilih sebagai ketuanya. Moh. Hatta
kemudian dipilih sebagai ketua pada tahun 1932 setelah kembali dari
Belanda. Organisasi-organisasi tersebut tetap sama-sama menggunakan
taktik perjuangan non-kooperatif dalam mencapai kemerdekaan politik.
Adapun perbedaan antara PNI Baru dengan Partindo adalah sebagai berikut:
- PPPKI oleh PNI Baru dianggap sebagai “persatean” bukan persatuan
karena anggota-anggotanya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Sementara
itu, Partindo menganggap PPPKI dapat menjadi wadah persatuan yang kuat
daripada mereka berjuang sendiri-sendiri.
- Dalam upaya mencapai kemerdekaan, PNI Baru lebih mengutamakan
pendidikan politik dan sosial. Partindo lebih mengandalkan organisasi
masa dengan aksi-aksi masa untuk mencapai kemerdekaan.
Pada tahun 1933, PNI Baru telah memiliki 65 cabang. Untuk mempersiapkan
masyarakat dalam mencapai kemerdekaan, PNI Baru melakukan kegiatan
penerangan untuk rakyat dan penyuluhan koperasi. Kegiatan-kegiatan PNI
Baru tersebut dan ditambah dengan sikapnya yang non-kooperatif dianggap
oleh pemerintah kolonial membahayakan. Oleh karena itu, pada bulan
Februari 1934 Bung Hatta, Sutan Syahir, Maskun, Burhanuddin, Murwoto,
dan Bondan ditangkap pemerintah kolonial. Bung Hatta diasingkan ke hulu
Sungai Digul, Papua. Kemudian dipindahkan ke Banda Neira pada tahun
1936 dan akhirnya ke Sukabumi pada tahun 1942. Dengan demikian, hanya
partai-partai yang bersikap kooperatif saja yang dibiarkan hidup oleh
pemerintah kolonial Belanda.
c. Parindra (1935)
Pada bulan Desember 1935 di Solo diadakan kongres yang menghasilkan
penggabungan Boedi Oetomo dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan
melahirkan Partai Indonesia Raya (Parindra). R. Soetomo terpilih sebagai
ketua Parindra dengan Surabaya sebagai pusatnya. Tujuannya adalah
mencapai Indonesia raya dan mulia. Tokoh-tokoh terkemuka Parindra
lainnya ialah Moh. Husni Thamrin dan Sukarjo Wiryopranoto.
Parindra berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil dengan cara
mendirikan Rukun Tani, membentuk serikat-serikat pekerja, menganjurkan
Swadesi, dan mendirikan Bank Nasional Indonesia. Perjuangan Parindra
dalam Volksraad berlangsung hingga akhir penjajahan Belanda. Dalam hal
ini terkenal kegigihan Moh. Husni Thamrin dengan membentuk Fraksi
Nasional dan GAPI yang berhasil memaksa pemerintah kolonial melakukan
beberapa perubahan, seperti memakai bahasa Indonesia dalam siding
Volksraad dan mengganti istilah Inlander menjadi Indonesier.
d. Gerindo
Setelah Partindo dibubarkan pada tahun 1936, banyak anggotanya
kehilangan wadah perjuangan. Sementara itu, Parindra yang cenderung
kooperatif dianggap kurang sesuai. Oleh karena itu, pada bulan Mei 1937
di Jakarta dibentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tokoh-tokohnya
yang terkenal ialah A.K.Gani, Moh. Yamin, Amir Syarifuddin, Sarino
Mangunsarkoro, Nyono, Prawoto, Sartono, dan Wilopo.
Gerindo bertujuan mencapai Indonesia merdeka, tetapi dengan asas-asas
yang kooperatif. Dalam bidang politik, Gerindo menuntut adanya parlemen
yang bertanggung jawab kepada rakyat dalam bidang ekonomi dibentuk
Penuntut Ekonomi Rakyat Indonesia (Peri) yang bertujuan mengumpulkan
modal dengan kekuatan kaum buruh dan tani berdasarkan asas
nasional-demokrasi-koperasi. Dalam bidang sosial diperjungkan persamaan
hak dan kewajiban di dalam masyarakat. Oleh karena itu, Gerindo menerima
anggota dari kalangan orang Indo, peranakan Cina, dan Arab.
e. Petisi Sutardjo
Pada tanggal 15 Juli 1936, Sutardjo Kartohadikusumo selaku Persatuan
Pegawai Bestuur (PPB) dalam Volkstraad mengajukan usul yang kemudian
dikenal dengan petisi Sutardjo. Petisi tersebut berisi permintaan kepada
pemerintah kolonial agar diselenggarakan musyawarah antara wakil-wakil
Indonesia dan Belanda untuk merencanakan suatu perubahan dalam waktu 10
tahun mendatang, yaitu pemberian status otonom kepada rakyat Indonesia
meskipun tetap dalam lingkungan kerajaan Belanda.
Sebelum Indonesia dapat berdiri sendiri, Sutardjo mengusulkan untuk
mengambil langkah-langkah memperbaiki keadaan Indonesia, antara lain
sebagai berikut:
a. Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya
b. Direktur departemen diberikan tanggung jawab
c. Dibentuk Dewan Kerajaan (rijksraad) sebagai badan tertinggi antara
Belanda dan Indonesia yang anggota-anggotanya merupakan wakil-wakil
kedua belah pihak
d. Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan cita-citanya memihak Indonesia.
Petisi itu juga ditandatangani oleh I.J. Kasimo, Sam Ratulangi, Datuk
Tumenggung dan Kwo Kwat Tiong. Sebagian besar dari partai-partai dan
tokoh-tokoh pergerakan juga mendukung Petisi Sutardjo. Setelah
mendapatkan dukungan mayoritas anggota Volksraad, petisi itu kemudian
disampaikan kepada pemerintah kerajaan dan Parlemen Belanda.
Golongan yang tidak setuju adalah golongan konservatif dan para
pengusaha perkebunan, termasuk kelompok Vanderlandche Club (VC)
menganggap petisi itu terlalu prematur dan menganggap bahwa secara
ekonomi dan sosial Hindia Belanda (Indonesia) belum cukup untuk dapat
berdiri sendiri. Selain itu dipermasalahkan pula tentang dapat
dipertahankannya kesatuan wilayah Nusantara dalam lingkungan Pax
Nederlandica karena pada kenyataannya kondisi politik Hindia Belanda
belum mantap.
Pada tanggal 16 November 1938, pemerintah Belanda memberikan jawaban
bahwa petisi itu ditolak dengan alasan-alasan sebagai berikut.
- Perkembangan politik Indonesia belum cukup matang untuk
memerintah sendiri sehingga petisi itu dipandang masih terlalu
prematur.
- Dipertanyakan juga tentang kependudukan golongan minoritas dalam struktur politik yang baru nanti.
- Tuntutan otonomi dipandang sebagai hal yang tidak alamiah karena pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik belum memadai.
Meskipun petisi tersebut ditolak, pemerintah kolonial mulai melaksanakan
perubahan pemerintah pada tahun 1938. Pemerintah membentuk
provinsi-provinsi di luar Jawa dengan gubernur sebagai wakil
pemerintahan pusat, sedangkan Dewan Provinsi bertugas mengatur rumah
tangga daerah.
f. Perjuangan GAPI “Indonesia Berparlemen”
Penolakan petisi Sutardjo mendorong munculnya gerakan menuju kesatuan
nasional, kesatuan aksi dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Gerakan
itu kemudian menjelma menjadi Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Pembentukan GAPI dipelopori oleh M.H. Thamrin dari Parindra.
Pelaksanaan program GAPI secara kongret mulai terwujud dalam rapatnya
pada tanggal 4 Juli 1939. Dalam rapat itu diputuskan untuk mengadakan
Kongres Rakyat Indonesia yang akan memperjuangkan penentuan nasib
sendiri serta persatuan dan kesatuan Indonesia. Namun, sebelum aksi
dapat dilancarkan secara besar-besaran, pada tanggal 9 Septamber 1939
terdengar kabar bahwa Perang Dunia II telah berkobar. Oleh karena itu,
dalam pernyataan pada tanggal 19 September 1939, GAPI menyerukan agar
dalam keadaan penuh bahaya dapat dibina hubungan kerja sama yang
sebaik-baiknya antara Belanda dan Indonesia.
Aksi pertama GAPI terselenggara dengan mengadakan rapat umum di Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 1939. Pada pertengahan Desember 1939
diselenggarakan rapat umum di beberapa tempat. Dengan semboyan
“Indonesia Berparlemen” dalam setiap aksinya GAPI mendesak pemerintah
agar membentuk parlemen yang dipilih dan dari rakyat sebagai pengganti
Volksraad dan dengan pemerimtahan yang bertanggung jawab kepada parlemen
tersebut. Untuk itu, kepala-kepala departemen harus digantikan
menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
Tanggapan pemerintah kolonial Belanda baru dikeluarkan pada tanggal 10
Februari 1940 melalui menteri jajahan Welter yang menyatakan bahwa
perkembangan dalam bidang jasmani dan rohani akan memerlukan tanggung
jawab dalam bidang ketatanegaraan. Sudah barang tentu hak-hak
ketatanegaraan memerlukan tanggung jawab dari para pemimpin. Tanggung
jawab ini hanya dapat dipikul apabila rakyat telah memahami
kebijaksanaan politik. Selama pemerintah Belanda bertanggung jawab atas
kebijakan politik di Hindia Belanda, tidak mungkin didirikan parlemen
Indonesia yang mengambil alih tanggung jawab tersebut.
Tentu saja penolakan itu menimbulkan kekecewaan, tetapi GAPI masih
meneruskan perjuangannya. Dalam rapat tanggal 23 Februari 1940, GAPI
menganjurkan pendirian Panitia Parlemen Indonesia sebagai tindak lanjut
aksi Indonesia Berparlemen. Akan tetapi, kesempatan bergerak bagi GAPI
sudah tidak ada lagi. Pada awal Mei 1940, Belanda diduduki oleh Jerman
sehingga Perang Dunia II telah berkobar di Negeri Belanda. Meskipun
negerinya sudah diduduki oleh Jerman, tetapi Belanda tidak mau mundur
setapak pun dari bumi Indonesia.
Sikap pemerintah Belanda yang konservatif itu tidak mengurangi loyalitas
rakyat Indonesia terhadap Belanda, bahkan ada keinginan umum untuk
bekerja sama dalam menghadapi perang itu. Sebagai imbalan dari kesetiaan
bangsa Indonesia tersebut, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh
Stachouwer menjanjikan perubahan dalam berbagai segi kehidupan
masyarakat. Akan tetapi, gagasan mengenai perubahan itu harus disimpan
dahulu hingga perang selesai. Pada tanggal 10 Mei 1941 dalam pidatonya,
Ratu Wilhelmina menyatakan kesediaannya untuk mempertimbangkan suatu
penyesuaian ketatanegaraan Belanda terhadap keadaan yang berubah serta
menentukan kedudukan daerah seberangdalam struktur Kerajaan Belanda.
Akan tetapi, masalah itu pun ditunda hingga Perang Dunia II selesai.
Usulan pembentukan milisi pribumi yang berdasarkan kewajiban warga
negara untuk mempertahankan negerinya juga ditolak oleh pemerintah
kolonial dengan alasan bahwa perang modern lebih memerlukan angkatan
perang yang professional. Sikap menunda itu pun diperlihatkan Belanda
pada saat dilontarkan Piagam Atlantik (Atlantic Charter) oleh Perdana
Menteri Inggris Woodrow Wilson dan Presiden Amerika Serikat F.D.
Roosevelt yang menjamin hak setiap bangsa untuk memilh bentuk
pemerintahannya sendiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar